tantangan perguruan tinggi
BUNUH DIRI MASAL PERGURUAN TINGGI -
MENUJU PENDIDIKAN ASEMBLING
By Sudaryono,
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
http://facebook.com/dmarketingc
Akhir-akhir ini di media sosial sedang hangat didiskusikan dan diperdebatkan perihal universities disruption yang dipicu artikel Jim Clifton, ”Universities: Disruption is Coming”.
Isinya secara garis besar mempertanyakan dan mengkhawatirkan peran masa depan pendidikan tinggi
dalam menyuplai tenaga kerja industri di dunia.
Pemicu ditulisnya artikel tersebut adalah iklan Google dan Ernst & Young yang akan menggaji siapa pun yang bisa bekerja dengannya tanpa harus memiliki ijazah apa pun,
termasuk ijazah dari perguruan tinggi (PT).
Iklan dari Google dan Ernst & Young tersebut seperti halilintar di siang bolong.
Ia mengejutkan dan menyambar kemapanan yang telah dinikmati oleh PT di seluruh dunia
dalam perannya sebagai penyuplai tenaga ahli,
hasil riset, dan pemikiran-pemikiran yang dibutuhkan dunia industri.
Namun, peran penting PT saat ini seakan
telah dinihilkan oleh Google dan Ernst & Young,
yang sebentar lagi barangkali diikuti oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia yang lain.
Lonceng kematian PT seakan telah didentangkan oleh kedua perusahaan raksasa tersebut, menyusul artikel yang ditulis oleh Terry Eagleton, berjudul ”The Slow Death of the University” (2015).
Artikel Eagleton memberikan gambaran bahwa
PT sedang melakukan bunuh diri massal
melalui pengabaian pada tugas utamanya,
yakni ”pendidikan”, karena telah bergeser lebih mengutamakan ”riset dan publikasi”.
Lebih menyedihkan lagi,
tradisi hubungan dosen dan mahasiswa yang seharusnya berbasis ”guru dan siswa”
telah bergeser menjadi ”manager dan pelanggan”.
Khusus di Indonesia,
fenomena bunuh diri massal ini ditambahkan oleh
keluhan bahwa para dosen saat ini lebih mementingkan
meng-updateLKD (laporan kinerja dosen)
karena berkaitan dengan tunjangan kinerja dosen
daripada meng-update materi kuliah yang diampunya.
Pertanyaan menarik untuk diajukan adalah
apakah eksistensi pendidikan tinggi akan segera berakhir ataukah
tetap akan ada tetapi arahnya akan berbelok tajam tidak mengikuti garis linier lagi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu:
(1) melihat lagi ke belakang sejarah kaitan antara pengetahuan, sains, dan teknologi;
(2) tahap-tahap perkembangannya;
(3) esensi dan sifat dasar kaitan ketiganya dalam perspektif kekinian; dan
(4) pengaruhnya pada arah pendidikan tinggi kita di masa depan.
Sejak kelahirannya pada abad ke-17,
sains modern telah melahirkan tradisi berpikir
yang mengikuti garis linier hubungan antara pengetahuan, sains, dan teknologi.
Pengetahuan adalah basis dibangunnya premis-premis atau dalil-dalil umum sains,
yang untuk selanjutnya sains akan berperan sebagai ibu kandung dari kelahiran teknologi.
Pengetahuan tentang
benda-benda di langit yang didasarkan pada pengamatan yang berulang,
pada akhirnya telah melahirkan prinsip-prinsip serta dalil-dalil di bidang sains.
Kemudian disusul oleh terciptanya peralatan-peralatan yang mampu digunakan untuk membuktikan dengan akurat hipotesis yang dibangun oleh abstraksi sains.
Pendek kata,
keberadaan dan perilaku-perilaku alam
merupakan sumber berpikir atau guru
bagi terbangunnya pengetahuan manusia.
Kelak di kemudian hari,
pengetahuan tersebut dapat digeneralisasi dalam formula-formula
yang dapat menuntun manusia untuk menciptakan alat-alat bantu yang dapat memudahkannya melakukan kegiatan-kegiatan yang sulit dan rumit.
Puncak dari tradisi berpikir yang mengikuti garis linier ini
adalah masa yang disebut dalam sejarah sebagai revolusi industri,
yang usianya sampai saat ini baru sekitar 200 tahun,
tetapi pengaruhnya pada perubahan alam dan
perubahan perilaku manusia sungguh sangat luar biasa.
Perkembangan selanjutnya
Revolusi industri ternyata bukan saja hasil puncak dari perkembangan sains modern, melainkan juga awal terciptanya alam (buatan) baru.
Tradisi cara berpikir manusia kemudian berubah dari linier jadi siklikal
karena produk-produk teknologi yang dihasilkan manusia tidak saja hanya dilihat sebagai ”hilir”
dari pengetahuan dan sains, tetapi juga sebagai ”hulu” pengetahuan untuk melahirkan sains dan produk-produk teknologi baru.
Pergeseran cara berpikir ini dapat kita kenali dari berubahnya cara berpikir yang semula disebut sebagai discovery menjadi innovation.
Cara berpikir ”inovasi”
telah meremas pengetahuan, sains, dan teknologi ke dalam satu genggaman tangan untuk kemudian dibentuk jadi bentukan-bentukan baru
yang lebih mudah dipahami, lebih canggih,
lebih mudah untuk memudahkan manusia,
dan tentu saja lebih memesona.
Namun,
yang sangat mengejutkan, ternyata dalam waktu hanya sekitar 15 tahun terakhir ini
cara berpikir manusia modern sudah bergeser dari ”inovasi” menjadi ”hiper-inovasi”
atau tepatnya ”hiper-siklikal”.
Artinya,
inovasi tidak lagi sekadar dijalankan di atas ”produk tunggal” untuk menambah nilai kebaruan dari produk tersebut,
tetapi inovasi dilakukan di atas ”banyak produk” (multiproduk) untuk dilipat jadi satu produk.
Alhasil,
ia bukan saja melahirkan nilai kebaruan pada produk lama, melainkan sekaligus melahirkan produk-produk baru
atau benda-benda baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Cara berpikir seperti ini kemudian melahirkan panggung-panggung perlagaan di dunia industri
untuk saling bunuh dan saling mengalahkan.
Akhirnya,
kita banyak menyaksikan perusahaan-perusahaan raksasa dunia terjungkal
tanpa membuat kesalahan manajemen maupun produksi
hanya karena munculnya benda-benda industri baru
yang mengambil teritori pasarnya lantaran para pelanggannya
dengan sukarela meninggalkan produk-produknya
karena dianggap kuno alias tidak gaul lagi.
Dalam payung berpikir seperti itu (hiper-inovatif),
baik produsen maupun konsumen
hidup dalam perlagaan-perlagaan yang sangat ketat, sibuk, dan cepat
karena ”kegaulan” produk-produk teknologi saat ini jadi berusia amat pendek.
Cara berpikir asembling
Untuk melahirkan benda-benda baru serta jasa-jasa baru tersebut di atas
dalam payung berpikir
“hiper-inovasi”,
sesungguhnya kita telah mereduksi cara berpikir kita
dari discovery ke innovation lalu ke asembling.
Cara berpikir yang terakhir ini adalah cara berpikir yang menggunakan ilmu gathuk (Jawa).
Meng-gathuk-kan orang yang punya sepeda motor atau mobil dengan orang yang memerlukan jasa transportasi melalui IT.
Meng-gathuk-kan
orang yang perutnya lapar dengan pemilik produk makanan dengan pemilik sepeda motor
yang mau disuruh dengan upah melalui IT.
Dengan ”ilmu gathuk”, saat ini banyak orang bisa mendapatkan rezeki tanpa harus bekerja di kantor atau di pasar, dan juga banyak orang malas tetapi punya duit yang dimudahkan.
Saat ini,
cara-cara berpikir dengan ”ilmu gathuk”
telah tumbuh dengan pesat dan subur
serta telah melahirkan karya-karya jasa ataupun produk benda-benda
yang sangat nyata dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Ilmu semacam ini dapat dilakukan oleh siapa saja,
tanpa harus memiliki ijazah apa pun,
termasuk ijazah dari PT.
Cara berpikir seperti inilah barangkali salah satu yang dibaca dan ditangkap Google dan Ernst & Young
untuk berani merekrut siapa pun
tanpa ijazah apa pun untuk bekerja dengannya.
Sistem pendidikan asembling
Atas dasar kondisi seperti itulah barangkali
Jim Clifton merasa gelisah dan khawatir akan masa depan eksistensi PT
dalam perannya sebagai penyedia tenaga kerja industri.
Keahlian ilmu gathuk seperti itu ternyata ”tak pernah” dan ”tak perlu” diajarkan PT.
Ilmu seperti itu dapat dipelajari siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.
Kekhawatiran Jim Clifton barangkali ”sangat berguna”
untuk mendefinisikan ulang peran pendidikan tinggi
dalam perubahan-perubahan alam
dan kehidupan manusia di masa depan.
Paling tidak,
ada dua arus utama pendidikan tinggi
yang dapat ditawarkan kepada masyarakat.
Pertama,
pendidikan tinggi yang diselenggarakan atas dasar semangat discovery.
Artinya,
pendidikan tinggi semacam ini mengorientasikan kegiatannya untuk dapat meraih ”penemuan-penemuan” besar yang berguna
bagi perubahan-perubahan kehidupan manusia di masa depan.
Riset-risetnya dilakukan atas dasar ”kerja kolektif”
untuk diarahkan pada ”penyelesaian masalah-masalah besar”
dan ”penemuan-penemuan besar”
sehingga PT semacam ini jumlahnya memang harus dibatasi,
termasuk jumlah mahasiswanya juga dibatasi
pada mereka yang memang memiliki kemampuan dasar luar biasa
(melalui seleksi yang ketat).
Untuk perguruan tinggi semacam ini,
idealnya diselenggarakan atas basis subsidi,
dalam arti mahasiswa tidak dipungut biaya alias gratis karena mereka kelak akan jadi pemandu perubahan kehidupan manusia.
Setelah lulus mereka tidak dibiarkan mencari pekerjaannya sendiri,
tetapi sudah dikaitkan dengan tugas-tugas besar yang harus dilakukan.
Kedua,
pendidikan tinggi yang diselenggarakan
atas semangat berpikir asembling,
atau pendidikan yang diselenggarakan untuk melembagakan cara berpikir ”perakit”,
sehingga tugas utamanya melahirkan sebanyak-banyaknya
tenaga ahli perakit
yang sangat dibutuhkan oleh industri.
Pendidikan seperti ini
mungkin mirip pendidikan vokasi,
tetapi bedanya terletak pada ”cara berpikir” yang luas, melintas disiplin, dan kompetensi yang dihasilkannya
mampu melahirkan produk-produk baru,
baik berupa barang maupun jasa.
Mungkin pendidikan semacam ini tepat disebut ”pendidikan vokasi plus”.
Taiwan, Korea, dan China
tampaknya telah memberi perhatian besar terhadap pengembangan pendidikan semacam ini.
Dengan menyelenggarakan
dua arus utama pendidikan tinggi semacam itu
(discovery dan asembling),
kekhawatiran atas kemungkinan bangkrutnya pendidikan tinggi tidak beralasan lagi.
Selain eksistensi pendidikan tinggi tetap dapat dipertahankan,
maka pendidikan tinggi dikembalikan lagi perannya sebagai pemandu
atau penuntun peradaban manusia,
bukannya sebagai pembebek (pengekor)
apa saja yang telah dilakukan oleh dunia industri.
Sumber: http://amikhb.ac.id/detailpost/bunuh-diri-masal-perguruan-tinggi-menuju-pendidikan-asembling
MENUJU PENDIDIKAN ASEMBLING
By Sudaryono,
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
http://facebook.com/dmarketingc
Akhir-akhir ini di media sosial sedang hangat didiskusikan dan diperdebatkan perihal universities disruption yang dipicu artikel Jim Clifton, ”Universities: Disruption is Coming”.
Isinya secara garis besar mempertanyakan dan mengkhawatirkan peran masa depan pendidikan tinggi
dalam menyuplai tenaga kerja industri di dunia.
Pemicu ditulisnya artikel tersebut adalah iklan Google dan Ernst & Young yang akan menggaji siapa pun yang bisa bekerja dengannya tanpa harus memiliki ijazah apa pun,
termasuk ijazah dari perguruan tinggi (PT).
Iklan dari Google dan Ernst & Young tersebut seperti halilintar di siang bolong.
Ia mengejutkan dan menyambar kemapanan yang telah dinikmati oleh PT di seluruh dunia
dalam perannya sebagai penyuplai tenaga ahli,
hasil riset, dan pemikiran-pemikiran yang dibutuhkan dunia industri.
Namun, peran penting PT saat ini seakan
telah dinihilkan oleh Google dan Ernst & Young,
yang sebentar lagi barangkali diikuti oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia yang lain.
Lonceng kematian PT seakan telah didentangkan oleh kedua perusahaan raksasa tersebut, menyusul artikel yang ditulis oleh Terry Eagleton, berjudul ”The Slow Death of the University” (2015).
Artikel Eagleton memberikan gambaran bahwa
PT sedang melakukan bunuh diri massal
melalui pengabaian pada tugas utamanya,
yakni ”pendidikan”, karena telah bergeser lebih mengutamakan ”riset dan publikasi”.
Lebih menyedihkan lagi,
tradisi hubungan dosen dan mahasiswa yang seharusnya berbasis ”guru dan siswa”
telah bergeser menjadi ”manager dan pelanggan”.
Khusus di Indonesia,
fenomena bunuh diri massal ini ditambahkan oleh
keluhan bahwa para dosen saat ini lebih mementingkan
meng-updateLKD (laporan kinerja dosen)
karena berkaitan dengan tunjangan kinerja dosen
daripada meng-update materi kuliah yang diampunya.
Pertanyaan menarik untuk diajukan adalah
apakah eksistensi pendidikan tinggi akan segera berakhir ataukah
tetap akan ada tetapi arahnya akan berbelok tajam tidak mengikuti garis linier lagi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu:
(1) melihat lagi ke belakang sejarah kaitan antara pengetahuan, sains, dan teknologi;
(2) tahap-tahap perkembangannya;
(3) esensi dan sifat dasar kaitan ketiganya dalam perspektif kekinian; dan
(4) pengaruhnya pada arah pendidikan tinggi kita di masa depan.
Sejak kelahirannya pada abad ke-17,
sains modern telah melahirkan tradisi berpikir
yang mengikuti garis linier hubungan antara pengetahuan, sains, dan teknologi.
Pengetahuan adalah basis dibangunnya premis-premis atau dalil-dalil umum sains,
yang untuk selanjutnya sains akan berperan sebagai ibu kandung dari kelahiran teknologi.
Pengetahuan tentang
benda-benda di langit yang didasarkan pada pengamatan yang berulang,
pada akhirnya telah melahirkan prinsip-prinsip serta dalil-dalil di bidang sains.
Kemudian disusul oleh terciptanya peralatan-peralatan yang mampu digunakan untuk membuktikan dengan akurat hipotesis yang dibangun oleh abstraksi sains.
Pendek kata,
keberadaan dan perilaku-perilaku alam
merupakan sumber berpikir atau guru
bagi terbangunnya pengetahuan manusia.
Kelak di kemudian hari,
pengetahuan tersebut dapat digeneralisasi dalam formula-formula
yang dapat menuntun manusia untuk menciptakan alat-alat bantu yang dapat memudahkannya melakukan kegiatan-kegiatan yang sulit dan rumit.
Puncak dari tradisi berpikir yang mengikuti garis linier ini
adalah masa yang disebut dalam sejarah sebagai revolusi industri,
yang usianya sampai saat ini baru sekitar 200 tahun,
tetapi pengaruhnya pada perubahan alam dan
perubahan perilaku manusia sungguh sangat luar biasa.
Perkembangan selanjutnya
Revolusi industri ternyata bukan saja hasil puncak dari perkembangan sains modern, melainkan juga awal terciptanya alam (buatan) baru.
Tradisi cara berpikir manusia kemudian berubah dari linier jadi siklikal
karena produk-produk teknologi yang dihasilkan manusia tidak saja hanya dilihat sebagai ”hilir”
dari pengetahuan dan sains, tetapi juga sebagai ”hulu” pengetahuan untuk melahirkan sains dan produk-produk teknologi baru.
Pergeseran cara berpikir ini dapat kita kenali dari berubahnya cara berpikir yang semula disebut sebagai discovery menjadi innovation.
Cara berpikir ”inovasi”
telah meremas pengetahuan, sains, dan teknologi ke dalam satu genggaman tangan untuk kemudian dibentuk jadi bentukan-bentukan baru
yang lebih mudah dipahami, lebih canggih,
lebih mudah untuk memudahkan manusia,
dan tentu saja lebih memesona.
Namun,
yang sangat mengejutkan, ternyata dalam waktu hanya sekitar 15 tahun terakhir ini
cara berpikir manusia modern sudah bergeser dari ”inovasi” menjadi ”hiper-inovasi”
atau tepatnya ”hiper-siklikal”.
Artinya,
inovasi tidak lagi sekadar dijalankan di atas ”produk tunggal” untuk menambah nilai kebaruan dari produk tersebut,
tetapi inovasi dilakukan di atas ”banyak produk” (multiproduk) untuk dilipat jadi satu produk.
Alhasil,
ia bukan saja melahirkan nilai kebaruan pada produk lama, melainkan sekaligus melahirkan produk-produk baru
atau benda-benda baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Cara berpikir seperti ini kemudian melahirkan panggung-panggung perlagaan di dunia industri
untuk saling bunuh dan saling mengalahkan.
Akhirnya,
kita banyak menyaksikan perusahaan-perusahaan raksasa dunia terjungkal
tanpa membuat kesalahan manajemen maupun produksi
hanya karena munculnya benda-benda industri baru
yang mengambil teritori pasarnya lantaran para pelanggannya
dengan sukarela meninggalkan produk-produknya
karena dianggap kuno alias tidak gaul lagi.
Dalam payung berpikir seperti itu (hiper-inovatif),
baik produsen maupun konsumen
hidup dalam perlagaan-perlagaan yang sangat ketat, sibuk, dan cepat
karena ”kegaulan” produk-produk teknologi saat ini jadi berusia amat pendek.
Cara berpikir asembling
Untuk melahirkan benda-benda baru serta jasa-jasa baru tersebut di atas
dalam payung berpikir
“hiper-inovasi”,
sesungguhnya kita telah mereduksi cara berpikir kita
dari discovery ke innovation lalu ke asembling.
Cara berpikir yang terakhir ini adalah cara berpikir yang menggunakan ilmu gathuk (Jawa).
Meng-gathuk-kan orang yang punya sepeda motor atau mobil dengan orang yang memerlukan jasa transportasi melalui IT.
Meng-gathuk-kan
orang yang perutnya lapar dengan pemilik produk makanan dengan pemilik sepeda motor
yang mau disuruh dengan upah melalui IT.
Dengan ”ilmu gathuk”, saat ini banyak orang bisa mendapatkan rezeki tanpa harus bekerja di kantor atau di pasar, dan juga banyak orang malas tetapi punya duit yang dimudahkan.
Saat ini,
cara-cara berpikir dengan ”ilmu gathuk”
telah tumbuh dengan pesat dan subur
serta telah melahirkan karya-karya jasa ataupun produk benda-benda
yang sangat nyata dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Ilmu semacam ini dapat dilakukan oleh siapa saja,
tanpa harus memiliki ijazah apa pun,
termasuk ijazah dari PT.
Cara berpikir seperti inilah barangkali salah satu yang dibaca dan ditangkap Google dan Ernst & Young
untuk berani merekrut siapa pun
tanpa ijazah apa pun untuk bekerja dengannya.
Sistem pendidikan asembling
Atas dasar kondisi seperti itulah barangkali
Jim Clifton merasa gelisah dan khawatir akan masa depan eksistensi PT
dalam perannya sebagai penyedia tenaga kerja industri.
Keahlian ilmu gathuk seperti itu ternyata ”tak pernah” dan ”tak perlu” diajarkan PT.
Ilmu seperti itu dapat dipelajari siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.
Kekhawatiran Jim Clifton barangkali ”sangat berguna”
untuk mendefinisikan ulang peran pendidikan tinggi
dalam perubahan-perubahan alam
dan kehidupan manusia di masa depan.
Paling tidak,
ada dua arus utama pendidikan tinggi
yang dapat ditawarkan kepada masyarakat.
Pertama,
pendidikan tinggi yang diselenggarakan atas dasar semangat discovery.
Artinya,
pendidikan tinggi semacam ini mengorientasikan kegiatannya untuk dapat meraih ”penemuan-penemuan” besar yang berguna
bagi perubahan-perubahan kehidupan manusia di masa depan.
Riset-risetnya dilakukan atas dasar ”kerja kolektif”
untuk diarahkan pada ”penyelesaian masalah-masalah besar”
dan ”penemuan-penemuan besar”
sehingga PT semacam ini jumlahnya memang harus dibatasi,
termasuk jumlah mahasiswanya juga dibatasi
pada mereka yang memang memiliki kemampuan dasar luar biasa
(melalui seleksi yang ketat).
Untuk perguruan tinggi semacam ini,
idealnya diselenggarakan atas basis subsidi,
dalam arti mahasiswa tidak dipungut biaya alias gratis karena mereka kelak akan jadi pemandu perubahan kehidupan manusia.
Setelah lulus mereka tidak dibiarkan mencari pekerjaannya sendiri,
tetapi sudah dikaitkan dengan tugas-tugas besar yang harus dilakukan.
Kedua,
pendidikan tinggi yang diselenggarakan
atas semangat berpikir asembling,
atau pendidikan yang diselenggarakan untuk melembagakan cara berpikir ”perakit”,
sehingga tugas utamanya melahirkan sebanyak-banyaknya
tenaga ahli perakit
yang sangat dibutuhkan oleh industri.
Pendidikan seperti ini
mungkin mirip pendidikan vokasi,
tetapi bedanya terletak pada ”cara berpikir” yang luas, melintas disiplin, dan kompetensi yang dihasilkannya
mampu melahirkan produk-produk baru,
baik berupa barang maupun jasa.
Mungkin pendidikan semacam ini tepat disebut ”pendidikan vokasi plus”.
Taiwan, Korea, dan China
tampaknya telah memberi perhatian besar terhadap pengembangan pendidikan semacam ini.
Dengan menyelenggarakan
dua arus utama pendidikan tinggi semacam itu
(discovery dan asembling),
kekhawatiran atas kemungkinan bangkrutnya pendidikan tinggi tidak beralasan lagi.
Selain eksistensi pendidikan tinggi tetap dapat dipertahankan,
maka pendidikan tinggi dikembalikan lagi perannya sebagai pemandu
atau penuntun peradaban manusia,
bukannya sebagai pembebek (pengekor)
apa saja yang telah dilakukan oleh dunia industri.
Sumber: http://amikhb.ac.id/detailpost/bunuh-diri-masal-perguruan-tinggi-menuju-pendidikan-asembling
Komentar