Nelung Dina

NELUNG DINA, MITUNG DINA, MATANG PULUH DINA, NYATUS, NYEWU DAN NGUWIS-UWISI


Dalam masyarakat Jawa, ada kata bilangan tertentu yang dapat diubah menjadi verba (kata kerja). Kata kerja (verba) yang dibentuk dari kata bilangan ini berhubungan dengan upacara ritual pada masyarakat Jawa. Upcara ritual ini lazimnya dikaitkan dengan kematian seseorang. Kata bilangan tertentu itu adalah telung dina 'tiga hari', pitung dina 'tujuh hari', patang puluh dina 'empat puluh hari', satus dina 'seratus hari', dan sewu dina 'seribu hari'. Kata bilangan ini kemudian diubah menjadi verba (kata kerja) dengan cara memberikan awalan ng- [m-; ny-] sehingga berubah menjadi nelung dina 'tiga hari', mitung dina 'tujuh hari', matang puluh dina 'empat puluh hari', nyatus dina 'seratus hari'dan nyewu dina. Verba tersebut bermakna 'melakukan upacara ritual pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-100 setelah kematian anggota keluarga'. 


Istilah nelung dina berasal dari kata bilangan telu 'tiga' dan kata benda (nomina) dina 'hari'. Ketika kata bilingan telu dan dina digabung menjadi satu maka kata itu menjadi telung dina 'tiga hari'. Kata bilangan telung dina 'tiga hari' dapat diubah menjadi verba menjadi dengan menambah awalan ng- sehingga menjadi nelung dina 'melakukan upacara ritual berkaitan dengan kematian anggota keluarga pada hari ke- setelah kematian anggota keluarga' Pada masyarakat Jawa, upacara ritual ini masih bertahan, bahkan sering mengkaitkannya dengan nilai-nilai ajaran Islam. Di kampung kami istilah ritual nelung dina dan seterusnyayakni upacara ritual tiga hari dan seterusnya setelah kematian seseorang ini sering disebut sedekahan. Istilah sedekahan berasalah dari kata sedekah atau sodaqoh. Jadi sedekahan itu adalah upacara ritual bersedekah atau bersodaqoh yang dikaitkan dengan kematian seseorang. Siapakah yang pertama kali melakukan ritual semacam ini? Tidak ada bukti sejarah yang mencatatnya. Akan tetapi jika dihubung-hubungkan dengan sepak terjang  Christian Snouck Hurgronje, maka boleh jadi ini adalah warisannya. Masyarakat dinina-bobokkan dengan ritual tertentu yang dibalut dengan ajaran agama. Sibuklah para anggota masyarakat ketungkul mengurusi ritual tetapi urusan dunia dan politik terabaikan.
Dalam masyarakat Jawa tradisonal, mereka mempercayai bahwa harus ada ritual nelung dina dengan cara: (1) membuat masakan istimewa yang tidak sama dengan masakan sehari-hari mereka. (2) mengundang tetangga untuk ikut membaca tahlil dan surat Yasin yang katanya untuk mendoakan arwah yang sudah di alam kubur. Setelah upacara doa dan baca surat Yasin selesai, para undangan itu akan disuguhi makanan dan pulangnya juga membawa pulang masakan. Masakan yang dibawa pulang ini namanya berkat. Kata berkat sendiri berasal dari kata "barakah". Istilah agama Islam, seperti sedekah (dari kata sodaqah), berkat (dari: barakah) digunakan untuk membungkus seolah-olah aktivitas itu berasal dari ajaran agama Islam.

Mitung Dina

Ini adalah ritual tujuh hari setalah kematian seseorang. Keluarga mayit melakukan ritual hari ketujuh setelah kematiannya. Sama seperti uapara ritual hari ke-3, ritual hari ke-7 ini juga dilaksanakan dalam rangka mendokan arwah yang sudah meninggal. Proses ritualnya sama dengan ritual nelung dina.  Proses ritual ini akan dilakukan pada hari ke-40 setelah orang meninggal yang disebut matang puluh. Ahli waris bertanggung jawab terhadap proses ritual ini. Pada hari ke-100 ahli waris juga melakukan ritual yang disebut dan nyatus. Proses ritual ini terus berlanjut pada hari ke-1.000 meninggalnya seseorang. Inilah yang disebut nyewu dalam hasanah masyarakat Jawa. Ahli waris harus mencatat dan mengingat-ingat dengan cermat hitungan hari itu. Biasanya ada juga tetangga atau kenalan yang mengingatkan proses ritual yang harus dilakukan. Seolah tetangga atau kenalan mencatat juga proses ritual yang seharusnya dilakukan. Proses ritual terakhir adalah apa yang disebut dalam bahasa Jawa yakni nguwis-uwisi. "Uwis" sama dengan"sudah", "selesai" atau "pamungkas". Nguwis-uwisi adalah ritual terakhir untuk kematian seseorang. Itu yang terjadi di kampung saya. Boleh jadi di kampung lain agak berlainan, akan tetapi prinsipnya sama.

Di kampung saya (dan juga di tempat lain di Indonesia) ada juga ritual khaul. Orang Jawa sering melafalkannya khol. Ritual khaul ini dilakukan setiap tahun. Jadi semacam ulang tahun kematian seseorang. Akan tetapi yang dimaksud seseorang di sini bukan sembarang orang. Biasanya orang yang diperingati hari kematiannya setelah satu tahun adalah seorang tokoh. Karena dianggap tokoh, para murid dan pengikutnya merasa berkewajiban untuk memperingati hari ulang tahun kematian sang guru, sang kyai, sang tokoh itu. Tentu saja peringatan khaul ini akan melibatkan seluruh angggota komunitas.  Mereka harus iuran dengan sejumlah uang. Kalau di kampung saya, para anggota masyarakat diharuskan membuat tumpeng. Tumpeng inilah yang nanti dimakan bersama seusai upacara doa berakhir.  Biasanya satu tumpeng dikelilingi beberapa orang untuk dimakan bersama-sama. Itulah ritual di kampung saya: Nelung Dina, Mitung Dina, Matang Puluh, Nyatus, Nyewu, dan Nguwis-uwisi.

NELUNG DINA, MITUNG DINA, MATANG PULUH DINA, NYATUS, NYEWU DAN NGUWIS-UWISI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HYPNOWRITING AND Croc Brain

Seminar Nasional Riset Linguistik dan Pengajaran Bahasa (SENARILIP-5), 1-2 OKT 2021