kelas sosial dalam ruang kelas

Kelas Sosial Dalam Ruang Kelas

Oleh Majid Wajdi
e-mail: mawa2id@gmail.com


Masyarakat Jawa, Sunda, Bali, Madura dan Sasak adalah masyarakat yang terkenal dengan kelas sosial atau kasta yang membedakan dua kutub atas dan bawah. Stratifikasi sosial masyarakat ini juga tercermin pada bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari kelima masyarakat ini. Prinsip kelas sosial pada intinya adalah pembedaan dua kutub atas dan bawah. Kelas atas adalah kelas superior sebagai lawan dari kelas bawah (sub-ordinate atau inferior). Tulisan ini membahas kelas sosial dalam ruang pendidikan. Kelas sosial yang dipaparkan di sini adalah praktek sosial yang mengambarkan prinsip kelas sosial yang dipraktekkan dalam ruang kelas sebagai ruang belajar pada lembaga pendidikan. Sebuah ruang kelas, tempat atau ruang belajar dari lembaga pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah komunitas sosial yang menggambarkan tatanan sosial yang cukup rumit. Hubungan guru dan siswa, siswa dan siswa menarik untuk dicermati terutama kehidupan sosial pasca mereka meninggalkan ruang belajar. Ruang tidur asrama lembaga pendidikan juga merupakan bagian dari sistem sosial para penghuni sebuah asrama. Perlakuan istimewa pada ketua ruang mencerminkan kelas sosial. Para kordinator ruang kamar mencerminkan bagaimana bahasa dan kuasa bermain di komunitas siswa lembaga pendidikan. 


Seorang anak siswa sekolah lanjutan pertama atau kelas tujuh yang baru menginjak semester pertama mulai dapat menilai. Kemampuan menilai ini belum kelihatan dengan jelas saat dia duduk di kelas enam, apalagi kelas-kelas sebelumnya. Ia menilai (dalam istilah yang ia gunakan 'mengeluhkan') bahwa ada guru yang suka memperlakukan siswa dalam satu ruang dengan cara yang berbeda-beda. Siswa diperlakukan berdasarkan kecantikannya atau kegantengannya. Ada juga perlakuan berdasarkan kepandaiannya, kekayaannya, asal sekolahnya, asal daerahnya dan lain-lain. Siswa yang cantik, meskipun kurang dalam bidang akademis, diperlakukan lebih istimewa dibandingkan siswa yang kurang cantik meskipun prestasi akademisnya baik. "Kelak dia pantas menjadi sekretaris eksekutif", begitu kurang lebih penilaian verbal yang diungkapan secara terbuka untuk menilai 'prestasi' salah satu siswanya yang dari segi fisik memiliki penampilan yang lebih daripada yang lain. Memang diakui oleh hampir semua orang kalau siswa itu memiliki tampilan fisik yang bernilai dengan rentangan 85-100 apabila diangkakan. Banyak orang yang biasanya terjebak pada tampilan fisik luar seseorang. Dalam istilah yang agak filosofis, orang sering terperangkap pada latar muka seseorang dan melupakan latar belakangnya. Ada seorang pengajar yang memperlakukan siswanya karena tampilan kekayaannya. Baca: penampilan kekayaan orangtuanya, karena tidak ada siswa yang kaya. Yang kaya orangtuanya bukan siswa itu. Apapun istilahnya, itu fakta yang sering dihadapi dalam kehidupan umat manusia. Pada hakikatnya kelas sosial itu ditentukan oleh tiga hal. Pertama, karena perbedaan usia. Kedua, perbedaan pendidikan. Ketiga, perbedaan kekayaan. Pada masyarakat timur seperti di Indonesia, usia menjadi faktor sosial yang utama untuk menilai seseorang. Kita harus menghormati karena dia usianya lebih tua daripada yang lain. Ini memang sesuatu yang wajar. Ayah dan ibu kita adalah orang tua, orang yang usianya, lebih tua daripada kita, para anak. Istilah lain untuk ayah dan ibu kita adalah "orang tua". Pada masyarakat Indonesia, pemberian kata sapaan "(Ba)pak", "Ibu", "(A)bang", "Mpok", "Babe", "Nyak", "Kakang", "Mas", "Mbak" dan lain-lain adalah bentuk sapaan hormat kepada orang yang usianya lebih tinggi.  Bahkan penghormatan di sekolah misalnya, antara siswa dan guru pada hakikatnya lebih ditentukan karena faktor usia, bukan semata-mata faktor pendidikan. Usia menjadi variabel sosial yang utama yang dapat memengaruhi seseorang menilai orang lain. Dapat dikatakan bahwa usia adalah variabel sosial yang menjadi semacam "hadiah" yang dapat diterima oleh siapapun. Penghormatan seseorang kepada orang lain karena perbedaan usia lebih alamiah dibandingkan dengan penghromatan karena perbedaan kekayaan atau pendidikan. Orang tidak akan menjadi mentang-mentang (dan akan dibela dengan mentang-mentang) karena kekayaannnya dan pendidikannya lebih tinggi daripada yang lain. Akan tetapi orang akan dikritik oleh orang lain apabila tidak memperlihatkan rasa hormat kepada orang tua, orang yang usianya lebih tinggi. Istilah njangkar dalam masyarakat Jawa mengacu pada ketidaksantunan seseorang dengan cara menyapa orang lain yang usianya lebih tua tanpa memakai kata sapaan "Pak", "Mas", "Rama", "Kang" dan lain-lain. Njangkar itu menyapa orang lain yang usianya lebuh tua daripada penyapa dengan hanya memakai "nama" saja. Njangkar adalah bentuk ketidaksopanan seseorang terhadap orang lain karena ada variabel sosial usia. Dengan teman sebaya, teman yang usianya sama, tidak perlu menyapa dengan kata sapaan. Kesetaraan usia di sini menjadi variabel sosial yang mendorong seseorang saling menyapa dengan hanya memakai "nama" saja.

Dapat dikatakan bahwa jika seseorang menilai atau menghormati orang lain karena usia itu jauh lebih baik dibandingkan karena faktor perbedaan kekayaan. Penghormatan karena faktor sosial kekayaan akan menimbulkan reaksi negatif. Orang akan menjadi sinis apabila ada seorang menghormati orang lain karena orang itu dari segi materi lebih berada, meskipun banyak orang yang terperangkap dalam jeratan kekayaan seseorang.

Kelas Sosial Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa, Sunda, Bali, dan Sasak adalah empat contoh masyarakat yang mengenal kelas sosial. Bahkan bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari adalah bahasa yang memiliki stratifikasi tuturan. Ada tingkat tutur tinggi dan rendah dalam bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Pada masyarakat Jawa, kelas sosial yang ada ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu darah biru (disingkat DB), Pendidikan (Pd), dan Kekayaan (Ky). Pada zaman kerajaan dulu, untuk menjadi raja, seseorang harus dari keturunan darah biru (Db). Tetapi kelas sosial yang didasarkan pada keturunan darah biru sudah lama memudar. Bahkan pada hakikatnya kelas sosial pada masyarakat Jawa dapat dikatakan sebagai sistem yang terbuka. Tingkat pendidikan dan capaian (prestasi sosial) dan kekayaan dapat menggeser posisi "darah biru". Darah biru yang dapat dilihat dari nama yang disandangnya, seperti Raden (R) sudah tidak begitu lazim lagi. Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara nama aslinya adalah Raden Mas Ngabehi Suwardi Suryaningrat. Beliau adalah contoh yang sangat nyata bahwa gelar darah biru bukan sesuatu yang istimewa. Mengapa begitu? Belia tanggalkan nama kebesaran sebagai keturunan darah biru dan diganti dengan nama orang kebanyakan: Ki Hajar Dewantara. Ki adalah nama yang mencerminkan kerakyatan. Hajar (bahasa Arab) memiliki dua makna, yaitu hijrah (berpindah, berubah) dan batu. Ingat kata Hajar Aswad, batu hitam. Dewantara terdiri dari kata dewa dan antara. Secara singkat Ki Hajar Dewantara bermakna : a) manusia biasa yang telah berpindah dari antara manusia dewa, b) manusia biasa sebagaimana layaknya batu biasa yang telah berpindah dari manusia dewa. Beliau adalah manusia biasa yang disimbolkan dengan kata Ki dan Hajar (batu). Batu, bukan emas, bukan permata, bukan batu pualam. Batu ada dimana-mana. Batu bukan benda yang diistimewakan sebagaimana batu permata. Beliau adalah salah satu di antara para dewa yang telah berpindah (hijrah) dan berubah menjadi manusia biasa, manusia sebagaimana batu biasa (hajar), bukan batu istimewa, bukan batu permata (emas, perak dll), manusia kebanyakan (Ki). Ki Hajar Dewantara adalah sebuah contoh manusia Jawa yang tidak men-dewa- kan dirinya sebagai seorang anak manusia. Gelar kebangsawanan masyarakat Jawa beliau tinggalkan dan berpindah (hijrah) menjadi manusia biasa tanpa gelar kebangsawanan. Di mata Ki Hajar Dewantara, gelar kebangsawanan Raden Mas Ngabehi tak ubahnya sekedar sampah, bukan sesuatu yang penting dan dipentingkan. Oleh karena itu gelar kebangsawanan itu ditanggalkan dan ditinggalkan. Beliau berpindah (hijrah) dari kehidupan para dewa menuju kehidupan para manusia biasa. Subhanallah. Contoh seperti ini belum pernah ada pada masyarakat lain. Contoh seperti ini tidak pernah terjadi pada masyarakat Bali dan Sasak. Tidak pernah ada seorang Anak Agung atau Ida Bagus yang menanggalkan namanya dan menggantinya dengan nama I Wayan, I Ketut, I Nyoman misalnya. Pada masyarakat Sasak pun boleh jadi belum pernah dan tidak akan pernah terjadi, seorang yang memiliki nama yang berbau gelar sosial "Lalu Fadhilah", misalnya kemudian gelar nama kelas sosial "Lalu" kemudian ditinggalkan dan ditanggalkan.

Dari mana asal-usul kelas sosial atau kasta itu muncul? Mengapa itu dapat terjadi? Hipotesis saya mengatakan bahwa kelas sosial dan kasta sosial ini diciptakan oleh penjajah Belanda yang pernah menguasai Indonesia selama 3.5 abad. Penciptaan kelas sosial atau kasta adalah politik devide et empera penjajah Belanda. Inilah politik belah bambu untuk memecah rakyat Indonesia. Pada masyarakat agraris, istilah devide et empera diterjemahkan menjadi politik belah bambu. Sebatang bambu yang akan dibelah menjadi dua bagian, biasanya dengan cara menginjak belahan sebelah bawah dan mengangkat bagian atas. bagian bawah adalah simbol kelas bawah, bagian atas adalah simbol kelas atas. Kelas bawah dan kelas atas harus dipisahkan dan dibenturkan. Jika dua kelompok ini sudah dapat dipisahkan, maka mudahlah untuk menguasainya. Yang ditakutkan oleh penjajah Belanda adalah bersatunya rakyat Indonesia untuk melawan penjajah Belanda. Agar rakyat Indonesia tidak mau bersatu maka diciptakan sistem politik yang namanya devide et empera. Dibuatlah kelas sosial atau kasta. Ini kelas atas  priyayi dan wong cilik (Jawa), brahmana dan sudra (Bali). Tujuan penjajah adalah agar dua kelas sosial ini saling berbenturan. Tujuannya adalah agar rakyat yang dijajah tidak bersatu untuk melawannya.
Menarik untuk dicermati keturuna  Arab di Indonesia. Hipotesis ini menyatakan juga bahwa inilah upaya penjajah Belanda untuk mengkontraskan keturuan Arab di Indonesia. Gelar kebangsawanan ditancapkan yakni gelar "Sir". Ada nama keturunan Arab Indonesia yang bernama Sir Muhammad, Muhammad Sir, Muhammad Sir Usman, Usman Sir dan lain-lain.

Pada masyarakat Jawa, kelas sosial sebagai sistem yang terbuka, sedangkan pada masyarakat Bali dan Sasak sebagai sistem kelas sosial yang tertutup. Istilah kasta adalah sistem kelas sosial yang tertutup. Sedangkan pada masyarakat Jawa lebih tepat disebut sebagai sistem kelas sosial, bukan kasta.

Taman Siswa, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah

Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, memiliki pemikiran yang sangat luhur tentang konsep pendidikan. Sistem pendidikan tidak dinamakan pesantren, bukan madrasah, dan bukan sekolah. Akan tetapi sistem pendidikan Indonesia adalah "taman", sehingga muncullah istilah "Taman Siswa" untuk menamai lembaga pendidikan yang beliau rintis. Istilah taman mencerminkan kesetaraan dan ketidakformalan. Taman adalah tempat yang yang indah dan menyenangkan. Belajar adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Belajar adalah aktivitas melepas penat, belajar adalah aktivitas sebagaimana aktivitas bermain di ruang yang indah dan menyenangkan. Itulah konsep dan pemikiran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Menarik untuk dicermati bahwa beliau tidak menggunakan istilah "pesantren", sebagaimana layaknya para ulama Islam, untuk menamai lembaga pendidikan yang dirintis. Pada zamannya istilah "pesantren", meskipun bukan dari bahasa Arab, tetapi pesantren adalah nama sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia. Sumbangsih pesantren juga sangat besar terhadap bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara juga tidak menamai sistem pendidikannya dengan istilah "madrasah". Madrasah dimunculkan sebagai alternatif untuk menutupi kekurangan sistem pendidikan yang sudah ada yaitu pesantren. Pesantren pada periode awal yang hanya mempelajari ajaran Islam dalam arti khusus, dan tidak menyertakan ilmu lain untuk dipelajari karena dianggap sebagai ilmu sekuler. Madrasah ingin menjembatani dua hal yang dikontraskan: pesantren dan sekolah. Pesantren yang dianggap hanya mempelajari agama Islam secara khusus, sementara sekolah yang sekuler yang hanya mempelajari ilmu umum minus ilmu agama (Islam). Sistem pendidikan yang bernama sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan sekuler dan ke-barat-baratan. Sementara itu, pesantren dianggap terlalu menekankan agama dan menolkan ilmu non-agama. Madrasah ingin menjembatani dua kutub ini. Kutub ini dijembatani oleh "madrasah". Madrasah tidak ingin meninggalkan ajaran agama (Islam) dan tidak pula meninyggalkan ilmu umum (ilmu sekuler). Untuk itu dirumuskan bahwa kurikulum madrasah menjadi 30% agama dan 70% ilmu umum. Inilah yang ingin ditampilkan oleh para pakar pendidikan Indonesia tentang madrasah. Madrasah bukan pesantren tetapi dalam madrasah dipelajari ilmu agama. Madrasah bukan sekolah, tetapi dalam madrasah dipelajari ilmu umum yang tidak dipelajari di pesantren. Bisa jadi madrasah adalah sistem pendidikan Islam, jika dilihat dari segi istilah dari bahasa Arab. Istilah "sekolah" yang diadopsi dari bahasa asing (Belanda dan Inggris), oleh pesantren dan madrasah dianggap sebagai istilah sekuler. Pesantren, sebagai sistem pendidkkan Islam, oleh madrasah dianggap kurang pas karena hanya mengkhususkan dalam bidang agama saja. Bidang ilmu lain ditinggalkan padahal itu penting dipelajari sebagai jawaban terhadap tantangan kehidupan. Madrasah menganggap pesantren hanya berbicara pada tataran kehidupan setelah mati (akhirat) dan meninggalkan pembicaraan tentang kehidupan dunia. Peng-kontrasan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat sangat menonjol pada pesantren, di situ kehidupan akhirat sangat dipentingkan (dan kehidupan dunia diabaikan). Sedangkan penkontrasan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat sangat menonjol pada sekolah, di situ kehidupan dunia dipentingkan dan masalah akhirat ditinggalkan. Madrasah merangkul keduanya, kehidupan di dunia juga penting diperhatikan, sedangkan kehidupan akhirat juga tidak boleh diabaikan.
Itulah yang melatarbelakangi mengapa muncul trikotomi pesantren, madrasah, dan sekolah.
Hari kita melihat trikotomi pesantren, madrasah, dan sekolah bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan.
Hari ini tiga istilah itu telah menjadi satu.
Pesantren sekarang telah memadukan sistem pendidikan sekolah.
Begitu juga dengan sekolah hari ini telah mengadopsi sistem pendidikan pesantren.
Modernisasi dalam pendidikan telah membuka hati pesantren mengadopsi sistem sekolah.
Sekolah sekarang juga sudah terbuka untuk mengakui dan mengadopsi sistem pendidikan pesantren.


Kelas Sosial dalam Ruang Kelas

Sistem kelas sosial dan kasta jika dicermati adalah upaya pengkontrasan dua kutub, kutub atas dan kutub bawah, kelas atas dan kelas bawah. Dikotomi kelas atas dan kelas bawah, ujung-ujungnya adalah untuk melemahkan posisi tawar masyarakat itu sendiri. Dalam sistem kasta, kelas atas adalah kelas brahmana, sedangkan kelas bahwah adalah sudra. Brahmana bebas mengakses apa saja, sedangkan Sudra dibatasi untuk mengakses wilayah tertentu. Pada masyarakat Jawa dulu terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta, untuk menjadi raja hanya diperuntukkan bagi para darah biru, keturunan ningrat. Yang bukan keturunan ningrat (darah biru) tidak diperolehkan menjadi raja atau ratu. Ningrat Jawa sebagai kelas atas dipelihara oleh penjajah Belanda untuk 'memusuhi' kelas bawah (wong cilik) yang jumlahnya jauh lebih banyak. Keberadaan ummat Islam di Indonesia juga dimanfaatkan dengan cermat oleh penjajah Belanda. Sebagaimana sudah disinggung di atas bahwa penggunaan kelas sosial atas dan bawah adalah upaya untuk mengkontraskan dua kubu: kubu atas dan kubu bawah.
Tujuan utamanya adalah agar dua kutub ini saling bereseberangan, agar mudah dilemahkan dan ditaklukkan. Tentu yang tidak diharapkan oleh penjajah adalah jangan sampai rakyat bersatu. Begitu rakyat bersatu, maka posisi penjajah akan goncang. Semua kelompok masyarakat dibenturkan. Dibenturkanlah Muhammadiyah dan NU. Yang diharapkan oleh penjajah Belanda adalah dua  organisasi ini saling berbenturan satu dengan yang lain. Penjajah Belanda ingin mendaptkan keuntungan dari perpecahan ini.

Kelas Unggulan dan Kelas Reguler

Ada pemandangan yang sangat memprihatinkan, bagaimana kelas sosial diterapkan di dalam lembaga pendidikan. Labelnya adalah kelas unggulan. Anak-anak yang nilai prestasi akademiknya bagus dikelompokkan menjadi satu ruang kelas. Namanya kelas unggulan. Siswa di kelas unggulan diperbolehkan mengakses internet dan komputer dalam proses pembelajaran. Anak-anak non-unggulan tidak diperbolehkan menggunakan komputer dan internet selama proses belajar di ruang belajar. Ini adalah sebuah contoh bagaimana kelas sosial diciptakan dan dipraktekkan di dalam ruang belajar. Siswa di kelas unggulan adalah kelas atas, semacam brahmana pada masyarakat Bali, sedangkan siswa di ruang non-unggulan adalah kasta sudra. Kelas unggulan memiliki hak istimewa, sedangkan kelas bukan unggulan dinomorduakan. Para pengelola lembaga pendidikan tidak menyadari bahwa mereka menerapkan perbedaan kelas sosial. Mereka tidak peka bahwa mereka telah mempraktekkan prinsip diskriminatif di ruang belajar. Mereka memuja orang yang memiliki kelebihan di bidang akademik, dan memincingkan mata kepada siswa yang tidak masuk kelas unggulan. Boleh saja anak-anak yang pintar dan suka membaca dikumpulkan menjadi satu tetapi tidak dibedakan dengan anak-anak yang bukan masuk unggulan dalam hal akses terhadap fasilitas. Yang membedakan adalah porsi materi ajar. Jika siswa non unggulan hanya cukup membaca buku paket, sedangkan siswa unggulan ditambah materi ajar. Siswa unggulan bisa melahap semua buku bacaan paket dalam waktu seperempat semester, sementara siswa non-unggulan untuk buku paket yang yang sama belum tentu dihabiskan dalam satu semester. Siswa unggulan diberikan porsi materi buku bacaan yang lebih banyak (karena mereka adalah pembaca yang rakus), sedangkan siswa non-unggulan cukup membaca buku paket (pertimbangannya adalah mereka kurang suka membaca buku). Bukan dengan cara deskriminatif memberikan akses terhadap laptop dan internet kepada siswa unggulan, sedangkan siswa non-unggulan tidak diperkenankan menggunakan laptop dan mengakses internet selama proses pembelajaran.

Senior - Junior in boarding school

Siswa yang tinggal di asrama sekolah atau ponpes sangat wajar untuk diatur sedemikian rupa agar kehidupan dalam asrama itu berjalan tertib. Hanya saja perbedaan juga pada tataran atas-bawah mengarah pada segi deskriminatif. Kordinator ruang asrama memiliki hak istimewa. Mereka memiliki hak untuk menggunakan fasiliats ruang kamar asrama seperti kamar mandi. Kordintor kamar berkuasa penuh untuk mengatur para penghuni kamar. Para penghuni kamar harus minta ijin kordinator kamar setiap kali mereka handak menggunakan kamar mandi. Kalau tidak diijinkan, para penghuni kamar harus mandi di tempat mencuci baju. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan kamar mandi ruang asrama apabila para senior mereka belum mandi. Dengan demikian mereka akhirnya cukup mandi di ruang cuci baju secara beramai-ramai. Agar mereka tidak saling melihat aurat mereka, mereka akan saling menutup sebagain tubuh dengan kain. Mereka juga harus meminta ijin dan mendapatkan tanda tangan kordinator untuk meninggalkan ponpes, misalnya untuk berobat. Mereka juga harus membayar sekian rupiah jika mereka ijin untuk keluar ponpes pada hari libur terutama saat orangtua mereka menengok mereka di asrama. Para kordinator adalah kelas atas yang memiliki hak istimewa. Padahal semua penghuni kamar memiliki kewajiban yang sama: mereka harus membayar, bukan tinggal di asrama dengan gratis. Para wali murid tidak diperkenankan menengok putra dan putri mereka di dalam kamar. Orang tua tidak diperbolehkan masuk kamar asrama para siswa. Jika ada orangtua siswa berani memaksa masuk ruang asrama siswa, maka siswa yang bersangkutan yang akan kena marah. Siswa yang ingin pindah ke kamar yang lebih nyaman (biasanya penghuninya lebih sedikit) diharuskan membayar 50ribu rupiah lebih tinggi dibandingkan dengan kamar biasa. Uang telah membedakan kelas kamar dalam sebuah asrama pendidikan menengah. The problem is it happens in a boarding house of Islamic school. Ini ruang kelas atau raung kelas?


Kelas Sosial Dalam Ruang Kelas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nelung Dina

HYPNOWRITING AND Croc Brain

Seminar Nasional Riset Linguistik dan Pengajaran Bahasa (SENARILIP-5), 1-2 OKT 2021