jejak digital 2, digital footprint2

Digital Footprint: Dukun Pengganda Uang atau Pengganda Maut?

Membaca tulisan Prof Renald Kasali, guru besar Unversitas Indonesia: Digital Footprint Para Penebar Hoaks (*),  saya menjadi teringat sebuah peristiwa hilangnya seorang dosen dari sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah. Kalau tidak salah setahun yang lalu ada berita seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah diberitakan hilang. Ayah sang dosen tersebut juga seorang guru besar di perguruan tinggi yang sama, hanya beda fakultas. Mendapat laporan tersebut, Polda Jateng mengerahkan segala daya untuk mencari keberadaan sang dosen yang hilang tersebut. Keluarga sudah berkali-kali menghubungi telpon genggamnya, tetapi tidak terhubung alias telpon itu tidak aktif. Pernah sekali sms keluarga sang dosen dijawab, tetapi setelah itu putus komunikasi, baik sms maupun telpon suara. Waktu itu memang fasilitas yang paling handal di luar telopn suara adalah SMS. Aplikasi WA belum dihadirkan.

Karena menganggap bahwa laporan hilangnya seorang dosen ini merupakan peristiwa yang serius, maka Polda Jawa Tengah melacak komunikasi terakhir sang dosen dengan keluarganya yakni komunikasi SMS. Berdasarkan data rekaman pembicaraan telpon dan SMS terakhir, ternyata sang dosen yang hilang tersebut berhubungan telpon dengan seseorang dari sebuah desa kecil di sebuah kabupaten di Jawa Tengah juga. Berbekal data percakapan telepon dan SMS tersebut bahwa sang dosen yang dinyatakan hilang tersebut terakhir berada di sebuah desa di sebuah Kabupaten tersebut, Polda Jateng menghubungi Polres Magelang dan Polres Magelang menghubungi Polsek tempat TKP diduga terjadi. 

Tentu saja Polsek di situ diduga TKP menjadi wilayah pengamannya harus berkerja ekstra keras untuk mengungkap 'siapa' dalang yang menghilangkan sang dosen tersebut. Sesuai arahan dan bekal informasi komunikasi telpon seluler bahwa komunikasi terakhir terjadi di sebuah dusun sebut saja Dusun A, Desa B, Kecamatan C Kabupaten Magelang.

Berhari-hari Polisi dari Polsek itu harus melakukan pengintaian di sekitar rumah seorang warga yang diduga menjadi tempat terjadinya peristiwa hilangnya sang dosen. Waktu itu belum ada kebijakan pemerintah untuk mendaftarkan nomor telpon seluler yang digunakan oleh setiap warga sehingga nomor mitra komunikasi sang dosen tidak diketahui identitas pemiliknya. Akan tetapi nomor seluler itu dapat dilacak posisi terakhir berkomunkasi dengan sang dosen.

Setelah berhari-hari melakukan pengintaian dan hasil informasi yang dikumpulkan, akhirnya polisi menyimpulkan bahwa sang dosen terakhir berkoumunikasi dengan seorang dukun di dusun A, Desa B. Polisi akhirnya melakukan penangkapan terhadap sang dukun. Berdasarkan interogasi dan informasi yang dapat digali, dukun itu memang sering didatangi oleh beberapa orang dari luar desa itu. Dukun ini sering menjanjikan dapat menggandakan uang. Sang dosen ketika pergi juga membawa uang 500 juta dan sebuah sertifikat rumah. 

Dalam proses penyidikan, berdasarkan pengakuan sang dukun, ia selalu pada akhirnya membunuh para pasiennya. Melalui cara ritual proses penggandaan uang, calon korban ini harus memakai semacam jubah (kain putih) yang menutupi seluruh tubuhnya termasuk muka dan kepalanya. Jubah ini dikenakan di rumah sang dukun tentu dibantu sepenuhnya oleh sang dukun. Sang pasien, calon korban cukup mengikuti arahan sang dukun. Sehabis mengenakan jubah putih persyaratan ritual penggandaan uang, calon korban dituntun dan dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh sang korban, apalagi kedua matanya tertutup. Ritual penggandaan uang dengan cara memakai jubah putih bagi calon korban itulah yang diakhiri dengan pembunuhan dan mayatnya dikuburkan di kebun si dukun pengganda uang (baca: dukun pengganda kematian). 

Selama proses penyidikan, sang dukun agak sulit menunjukkan tempat ia menguburkan mayat para korbannya. Ada permintaan misalnya dukun itu minta sebuah cangkul dan minta dilepaskan borgolnya agar ia dapat menggali kuburan para korbannnya. Polisi Polsek W dari wilayah Polres Magelang tidak mengabulkan permintaan tersebut karena dicurigai nanti sang dukun bukan menunjukkan kuburan korbannya, tetapi justru akan membunuh polisi penyidik dengan cangkul tersebut.

Suatu hari sang dukun pengganda uang itu mau menunjukkan di mana ia menguburkan mayat para korbannya dengan syarat dukun itu tidak mau didampingi Polisi dari Polsek  TKP. Sang dukun hanya mau didampingi Polisi dari Polda Jateng. Permintaan tersebut dipenuhi. Sang dukun minta agar borgol ditangan kanannya diborgolkan ke tangan kiri polisi yang mendampingi. 

Polisi dari Polsek TKP mengingatkan kalau nanti diajak ke jurang agar menolak. TKP itu memang di daerah pegunungan dan banyak jurang yang curam. Singkat cerita sang dukun dengan diborgol satu tangan dengan sang polisi pendamping berjalan berdampingan. Dukun itu berjalan menyusuri pegunungan dan jurang yang sangat curam dengan janji akan menunjukkan tempat ia menguburkan para mayat korbannya. Tanpa diduga oleh sang polisi pendamping, dukun itu melompat ke dalam jurang, yang tentu saja polisi pendamping satu borgol itu ikut terbawa terjung dan tewaslah sang dukun dengan mengajak polisi pendamping untuk gugur di medan tugas.


Oleh Majid Wajdi (caratan tercecer dari re-Penelitian Lapangan 2015-2016)

(*) karena tulisan ini bagus, maka saya simpan kembali di link ini.

Digital Footprint: Dukun Pengganda Uang atau Pengganda Maut?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nelung Dina

HYPNOWRITING AND Croc Brain

Muludan, Rajaban, Ayam Remasul